Bioskop di Bandung Tempo Doeloe

BANDUNG, infobdg.com – Bandung dahulu kala merupakan surganya
bioskop, sebelum akhirnya bioskop di monopoli oleh perusahaan-perusahaan
besar yang menyatu di pusat perbelanjaan. Bioskop di Bandung dahulu
kala terpisah dari pusat perbelanjaan, bioskop-bioskop ini berdiri di
gedung sendiri. Bioskop yang seperti ini menjamur di Bandung sejak tahun
1900-1970an sebelum akhirnya kalah dengan bioskop yang Wargi Bandung
kenali sekarang. Dimana saja bioskop-bioskop itu berada? dan bagaimana
nasibnya sekarang?
Panti Karya

Gedung tua yang tidak terawat dan tampak menyeramkan menjadi
gedung pertama yang merupakan saksi sejarah bioskop di Bandung. Gedung
ini adalah gedung Panti Karya yang berada di Jalan Merdeka, tepatnya di
depan mall Bandung Indah Plaza dan di belakang Dunkin Donuts. Gedung
yang semula dimiliki PJKA ini diganti fungsinya sebagai bioskop karena
pemutaran film sedang marak kala itu. Pada saat itu, Panti Karya kerap
kali dikunjungi oleh anak sekolah, misalnya pelajar SD Ciujung yang
terletak di Jalan Supratman berjalan kaki hingga Jalan Merdeka.
De Rex/ Vanda Theater/ Panti Budaya

Selain Panti Karya, di dekat Bank Indonesia juga pernah
terdapat sebuah bioskop yang bernama de Rex yang kemudian diubah menjadi
Panti Budaya tahun 1960an. Sama seperti Panti Karya, Panti Budaya juga
ditonton oleh pelajar sekolah namun memiliki perbedaan kelas bioskop.
Panti Budaya merupakan bioskop kelas 1 dan Panti Karya merupakan bioskop
kelas 2. Karena rol film saat itu jumlahnya terbatas, bioskop harus
menunggu giliran. Semakin rendah kelasnya makan semakin lambat
menontonnya. Kaset film berakhir di layar tancap (
feesterrein atau taman hiburan rakyat) Taman Senang, Taman Riang, Taman Warga, dan lainnya.
Pop Theater

Bersebelahan dengan rel kereta api, terdapat gedung Landmark (dulu merupakan
toko buku Van Dorp)
yang ternyata pernah menjadi bioskop yang bernama Pop Theater. Jika
dilihat sekarang, di depan Gedung Landmark ada Bank Anda yang dulu juga
merupakan sebuah bioskop bernama bioskop Presiden. Reza, koordinator
Aleut!, memberikan pengetahuan tambahan bahwa di balik Bank Anda ini
terdapat SD Merdeka yang dulunya merupakan gudang garam. Mengingatkan
dengan merek rokok? Kalau melihat bungkus rokok tersebut, maka bisa
dilihat gambar bungkusnya berupa rumah-rumah di samping rel kereta api
seperti letak SD Merdeka sekarang.
Braga Sky
Tidak jauh dari sana, terdapat Braga Dangdut yang dulunya merupakan
bioskop bernama Braga Sky yang sering didatangi pemuda pemudi untuk
menonton film nusantara dan film silat pada tahun 1960-1970an. Bioskop
ini merupakan bioskop menengah ke atas sehingga tidak semua orang bisa
masuk. Sayangnya, pengunjung saat itu sering menonton sambil menghisap
ganja.
Helios
Di sebelah Jalan Kejaksaan, pernah ada sebuah bioskop namanya Helios
yang dalam Bahasa Yunani memiliki arti Dewa Matahari. Gedung bioskop
yang sekarang dipakai rumah makan Bebek Garang ini dimiliki oleh seorang
pengusaha penggadaian yang rumahnya berada di Jalan Naripan. Bioskopnya
berupa layar tancap (
feesterrein atau taman hiburan
rakyat) yang berada di dalam gedung. Pengadaan layar dalam gedung
merupakan akomodasi dari hambatan sinar matahari yang memantul di layar
jika menonton di siang hari. Tidak hanya bioskop, gedung ini dipakai
untuk kesenian. Setelah jadi bioskop, gedung ini dialihfungsikan menjadi
kantor distribusi kaset. Helios merupakan salah satu cabang dari
Bandung Theater yang dulu dikenal di depan Kosambi.
Concordia

Di samping Gedung Merdeka terdapat gedung New Majestic yang dulunya
merupakan bioskop Concordia di tahun 1900an awal. Gedung ini dinamakan
Concordia karena berada di sebelah gedung Societet Concordia (sekarang
Gedung Merdeka). Concordia memiliki arti Dewa Keharmonisan dan Kedamaian
dalam Romawi Kuno. Bioskop ini merupakan bioskop elit dengan aturan
Verbodden voor Honder en irlander yang artinya “dilarang masuk bagi anjing dan pribumi”.
Tempat duduknya berundak dan menunjukkan kelas dan harga tiket. Untuk
kelas 1 terletak di balkon, kelas 2 terletak bagian bawah belakang, dan
kelas 3 di paling depan sehingga mungkin bisa menimbulkan efek
pegal-pegal leher. Selain itu tempat duduk laki-laki dan perempuan
dipisah, namun pada prakteknya mereka tetap melebur saja.
Bioskop Concordioa dirancang oleh Wolff Schoemacker dengan gaya
arsitekturnya sangat khas yaitu penempatan ornamen nusantara seperti
Kala yang terletak di bagian atas. Berbeda dengan Kala yang ada di
gedung Landmark, Kala di sini memiliki rahang. Secara keseluruhan,
gedung Concordia memiliki bentuk seperti kaleng biskuit atau bilken
trommel.
Bioskop Regol
Jika sebelumnya gedung-gedung berada di tempat yang terpisah cukup
jauh, maka gedung bioskop di alun-alun Bandung letaknya berdekatan
(bahkan bersebelahan). Di Jalan Dalem Kaum terdapat sebuah ruko yang
dulunya merupakan bioskop Regol untuk kalangan kelas menengah ke bawah
sehingga mereka baru bisa nonton film-film nusantara yang sudah
ditayangkan berbulan-bulan sebelumnya di tempat lain.
Radiocity

Di sebelah pendopo walikota Bandung terdapat bioskop Radiocity atau
Dian yang dimiliki oleh J.F.W. de Kort dan menayangkan film-film India.
Radiocity beroperasi di tahun 1940an. Walaupun untuk kelas menengah,
bioskop ini memiliki balkon. Pengunjung diperbolehkan naik ke atas untuk
melihat balkon dan ruang proyektor.
Elita Bioscoop

Di sebelah timur Masjid Raya terdapat bioskop yang berentetan (ki-ka)
yaitu: 1) Elita Bioscoop adalah bioskop paling elit setelah Concordia
dengan orang-orang terpilih yang menonton dengan pakaian rapi dan
memakai sepatu. Bioskop ini dimiliki oleh F. A. A Buse, seorang raja
bioskop yang memiliki jaringan besar Elita Concern. Bioskop ini dibangun
tahun 1910an dengan gaya arsitektur Art Nouveau dan sempat berganti
nama menjadi Puspita tahun 1960an, 2) Varia Park yang merupakan
feesterrein atau taman hiburan menampilkan gulat, seni tradisional, dan
lainnya. Varia artinya serba-serbi, dan 3) Oriental Show yang dibangun
tahun 1930an. Sayangnya ketiga bioskop ini dihancurkan untuk dibangun
pertokoan Palaguna yang sekarang kondisinya sudah layak dihancurkan
juga.
Elita merupakan bioskop yang memutar film Loetoeng Kasaroeng pada
tahun 1926. Film ini merupakan film yang memiliki latar belakang
Indonesia (konon syuting dilakukan di antara Bandung-Padalarang) dan
dibuat oleh perusahaan NV Java Film Co. Sutradaranya sendiri adalah
orang Belanda bernama Heuveldorp dan Krugers sebagai kameramen. Tidak
bergerak sendiri, mereka bekerja sama dengan bupati Bandung
Wiranatakusumah V dimana keluarganya berakting dalam film tersebut.
Latar belakang pembuatan film tersebut adalah film-film impor yang hadir
sebelum tahun 1926 adalah film-film yang berbau kekerasan dan
pemerkosaan sehingga diharapkan film ini dapat menciptakan image bahwa
Belanda itu baik. Loetoeng Kasaroeng berhasil ditayangkan selama 1 atau 2
tahun di Elita tanpa henti karena selalu ada peminatnya.
Bioskop di Bandung tidak hanya yang disebutkan di atas karena masih
banyak lagi seperti Apollo di Banceuy, Alhambra Bioscoop di
Kompa-Suniaraja, Orion Bioscoop di Kebonjati, Vogelpoel Bioscoop di
Braga-Naripan, Luxor di Sudirman, Rivoli Theater (kini Rumentang Siang)
di Kosambi, Liberty Bioscoop di Cicadas, dan lainnya. Perkembangan dunia
perbioskopan zaman dulu diadakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat
yang membutuhkan hiburan. Saat itu bioskop tidak hanya sekedar tempat
menonton saja tetapi di beberapa diantaranya yang memiliki balkon
terdapat ruangan cafe dengan satu meja dan kursi sehingga bisa
ngopi-ngopi.
Sumber : http://www.infobdg.com/v2/bioskop-di-bandung-tempo-doeloe/